a. Tujuan Da’wah
Tujuan da’wah secara umum adalah mengubah perilaku sasaran da’wah agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan
masalah pribadi, keluarga, maupun social kemasyarakatannya, agar terdapat kehidupan yang penuh keberkahan samawi dan keberkahan ardhi (al-A’raf: 96). Mendapat kebaikan dunia dan akhirat, serta terbebas dari azab neraka (al-Baqarah: 202).
masalah pribadi, keluarga, maupun social kemasyarakatannya, agar terdapat kehidupan yang penuh keberkahan samawi dan keberkahan ardhi (al-A’raf: 96). Mendapat kebaikan dunia dan akhirat, serta terbebas dari azab neraka (al-Baqarah: 202).
Tujuan-tujuan umum ini harus dirumuskan ke dalam tujuan yang lebih operasional dan dapat dievaluasi keberhasilan yang telah dicapainya H. Roosdi A.S 1992:2). Misalnya, tingkat keistiqamahan dalam mengerjakan shalat, tingkat keamanahan dan kejujurannya, berkurangnya angka kemaksiatan, ramainya shalat berjamaah di mesjid, berkurangnya tingkat pengangguran, penjual minuman keras, dan lain sebagainya.
b. Pelaku Da’wah (Dai)
Setiap muslim dan muslimah pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk berda’wah, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari perbuatan mungkar (HR Muslim dari Sa’id al Khudri). Akan tetapi, dalam menghadapi berbagai masalah yang semaki8n berat dan kompleks, sebagai akibat tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, globalisasi, dan tuntutan kebutuhan hidup, maka kiranya tidaklah memadai lagi kegiatan da’wah yang hanya dilkukan secara fardi “perorangan”, merencanakan dan mengerjakan sendiri kegiatannya. Akan tetapi hendaknya dilakukan secara jama’I,melalui sebuah kelembagaan yang ditata dengan baik dan dengan menghimpun berbagai keahlian yang diperlukan. Persoalan pendanaan yang selalu menjadi masalah, kiranya bisa dipecahkan melaui kelembagaan ini bahkan apabila diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an (al-Anfal:73; at-Taubah: 71; ash-Shaff: 4),
Da’wah yang dilakukan dengan secara berjamaah dalam sebuah barisan yang kokoh, rapi dan teratur, merupakan suatu keharusan. Orang-orang kafir, di dalam menghadapi kaum muslimin, selalu bersama-sama dalam mengfhimpun berbagai kekuatannya, bahkan kebijakan politiknya. Tujuan mereka hanya satu, menghancurkan kaum muslimin dengan agama Islamnya, sampai sehancur-hancurnya. Yahudi dan Nasrani boleh berbeda pendapat dan pendirian di antara sesame mereka, tetapi begitu menghadapi umat Islam, mereka akan segera bahu-membahu, saling bantu di antara mereka. AL-Qur’an surat al-Anfal ayat 73, mengingatkan kita kaum muslimin bahwa apabila kekuatan kafir itu tidak dihadapi secara berjamaah dan bersama-sama, maka yang akan terjadi adalah fitnah dan kehancuran.
c. Sasaran Da’wah
Agar da’wah bisa dilakukan dengan secara efisien, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan, maka sudah waktunya dibuat dan disusun stratifikasi sasaran. Salah satu arti hikmah (an-Nahl: 125) adalah kemampuan untuk mengenal golongan dan kondisi sasaran da’wah, bahkan secara tegas Rasulullah SAW menyatakan bahwasanya “kami diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam sesuai dengan kemampuan akal manusia”.
Materi dan Metode Da’wah
Pada dasarnya materi da’wah adalah ajaran Islam (Yusuf: 108; an-Nahl; 125) yang memiliki karakter sejalan dengan fitrah manusia dan kebutuhannya (ar-Rum: 30), kaamil ‘sempurna’ (al-Maa’idah: 3). Sirah nabawiyah mengajarkan kepada kita bahwa materi pertama yang menjadi landasan utama ajaran Islam, yang disampaikan Rasulullah SAW kepada umat manusia adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akidah salimah, keimanan yang benar, masalah al-insan, tujuan program, status dan tugas hidup manusia di dunia, dan tujuan akhir yang harus dicapainya, al- musawah, perasamaan manusia dihadapan Allah dan al-‘adalah, keadilan yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia dalam menata kehidupan. Persamaan dan keadilan ini, pada dasrnya adalah merupakan konsekuensi logis dari akidah salimah.
Yang perlu disadri para pengemban da’wah adalah bahwa akidah yang diajarkan itu bukanlah semata-mata berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah SWT, karena hal itu merupakan fitrah manusia (al-A’raf: 172); bahkan , orang kafir pun percaya akan adanya Allah SWT (Luqman: 25), akan tetapi menumbuhkan kesadaran yang dalam, bagaimana memanifestasikan akidah dalam ucapan, pikiran, dan tindakan sehari-hari. Akidah yang diajarkan adalah akidah yang bersifat muharrikah, yang menggerakan kesadran dan ketundukkajn kepada Allah SWT. Akidah yang menyebabkan seseorang ridha dan rela akan ketentuan dan syariat Allah SWT, akidah yang menumbuhkan vinta dan benci karena Allah SWT. Akidah yang menumbuhkan ‘ubudiyah,penghambaan hanya kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.
Pengajaran akidah sekarang pun haruslah mencontoh kepada sirah nabawiyah, jika ingin melahirkan sasaran da’wah yang melahirkan iman dan istiqamah, yakni akidah yang menumbuhkan kesadran yang dalam sebagai hamba Allah SWT. Bukannya akidah yang semata-mata berorientasi pada logika dan filsafat yang malah melahirkan kebingungan kepada umat karena logikanya terlepas dari wahyu Allah dan sunnah rasul-Nya.
Dalam kegiatan da’wah, pembentukan akidah salimah ini, disebut dengan al-Qadiyyatul kubra ‘isu utama yang besar dan menentukan’. Di samping itu, isu dan materi da’wah yang perlu mendapatkan perhatian serius dari para pengemban da’wah adalah yang menyangkut pemenuhan kebutuhan primer sasaran da’wah, seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Kenyataan menunjukkan, adanya orang atau kelompok orang yang rela ataupun terpaksa mengorbankan akidah, akhlak maupun kehormatannya untuk memenuhi tuntutan perutnya. Peringatan Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu “kefakiran akan membawa kepada kekufuran”. Ada beberapa contoh ( Ahamad Watik Pratiknya, kedhuafaan dan Bahaya Pemurtadan dalam Fakta dan Data, Usaha-Usaha Kristenisasi di Indonesia, 1991: 162) di Jawa Tengah tentang bagaimana kedhaifan dan kefakiran dimanfaatkan untuk menyebarkan agama, dan memurtadakn umat Islam. Jika basic need ‘kebutuhan dasar’ tidak dapat dipenuhi,maka seseorang akan mudah dipengaruhi oleh mereka yang mampu memenuhinya, meski dalam ukuran yang minimum. Kelompok nasrani menggunakan empat jalur propaganda. Pertama : jalur ekonomi, yaitu dengan memanfaatkan kefakiran seseorang. Kedua : jalur pendidikan, yang meskipun hasilnya baru bisa diraih dalam jangka panjang, tetapi sangat strategis. Ketiga : jalur pelayanan masyarakat. Keempat : jalur politik.
Da’wah dalam rangka pembentukan dan pembinaan akidah salimah disertai penanganan kebutuhan primer secara serius dan sungguh-sungguh harus merupakan garapan utama para pengamban da’wah.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Amrullah Da’wah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta; 1983
Lukman Hakim Fakta dan Data, Media da’wah, Jakarta; 1991
Moh. Natsir Fikih Da’wah, Media da’wah, Jakarta; 1983
0 komentar:
Posting Komentar